
Dukungan Berlanjut: PPh Final 0,5% UMKM Siap Diterapkan Tanpa Batas Waktu
November 10, 2025PER-19/PJ/2025 menetapkan kriteria dan proses penonaktifan akses pembuatan faktur pajak untuk PKP yang tidak patuh; baca ringkasan, dampak, dan langkah preventif.
PER-19/PJ/2025 adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur penonaktifan akses pembuatan faktur pajak bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan tertentu. Peraturan ini menegaskan mekanisme berbasis data untuk menilai kepatuhan dan memberi wewenang kepada kantor pajak untuk menonaktifkan akses e-Faktur jika PKP memenuhi kriteria yang ditetapkan.
PER-19/PJ/2025 mulai berlaku pada tanggal ditetapkan (dilaporkan mulai berlaku 22 Oktober 2025 menurut sumber publikasi), dan diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan pada Peraturan Menteri Keuangan terkait sistem inti administrasi perpajakan. Dokumen resmi terbit di kanal perpajakan dan dapat diunduh dari sumber-sumber hukum perpajakan.
Tujuan utama peraturan ini adalah meningkatkan kepatuhan perpajakan dengan memanfaatkan data elektronik (data-driven compliance) dan melindungi integritas sistem e-Faktur dari penyalahgunaan, misalnya penerbitan faktur tidak sah. Dengan aturan ini, Dirjen Pajak punya mekanisme lebih cepat dan terukur untuk menangani PKP yang berisiko.
Peraturan ini mengatur kriteria objektif, mekanisme penonaktifan, prosedur klarifikasi oleh PKP, dan peran kantor pajak (KPP) dalam meneliti serta mengambil keputusan penonaktifan atau pengaktifan kembali akses pembuatan faktur.
Kriteria Penonaktifan (Enam Kriteria Utama)
PER-19/PJ/2025 merinci beberapa kondisi di mana akses pembuatan faktur pajak dapat dinonaktifkan. Intinya ada enam kriteria yang umumnya dilaporkan oleh sumber resmi dan media pajak, yaitu:
Pertama, Tidak memotong atau memungut pajak yang seharusnya dipotong/pungut selama 3 bulan berturut-turut. Kedua, Tidak menyampaikan SPT Masa PPN secara berturut-turut selama 3 masa pajak. Ketiga, Tidak menyampaikan SPT Masa PPN untuk 6 masa pajak dalam satu tahun kalender. Keempat, Tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menjadi kewajibannya. Kelima, Tunggakan pajak melebihi ambang batas (mis. Rp250 juta untuk PKP di KPP Pratama; Rp1 miliar untuk PKP di luar KPP Pratama) setelah teguran dan tanpa persetujuan angsur/penundaan. Keenam, Terindikasi penerbit atau penggunaan faktur pajak tidak sah, status non-efektif, penyalahgunaan akses atau dokumen pengukuhan PKP yang tidak sesuai/palsu.
Penonaktifan dilakukan oleh kantor pajak setempat berdasarkan pemeriksaan data administratif dan, bila perlu, investigasi lapangan. Keputusan penonaktifan merujuk pada data-data elektronik (laporan SPT, bukti potong/pungut, catatan tunggakan) dan hasil klarifikasi awal. Proses ini bersifat administratif namun harus mengikuti prosedur yang diatur dalam PER-19.
PKP yang aksesnya dinonaktifkan dapat mengajukan klarifikasi tertulis kepada KPP tempat terdaftar. Klarifikasi harus memuat identitas, penjelasan kejadian, nomor & tanggal dokumen, serta dokumen pendukung sesuai format lampiran PER-19. Jika klarifikasi berhasil meyakinkan KPP, akses dapat diaktifkan kembali mengikuti prosedur internal.
Penonaktifan akses e-Faktur berdampak langsung karena PKP tidak bisa menerbitkan faktur pajak elektronik (FP). Selain tidak bisa menerbitkan FP, PKP yang terindikasi pelanggaran berat bisa menghadapi tindakan administrasi lanjutan (pemeriksaan, pemajakan ulang, atau tuntutan bila ditemukan unsur pidana). Namun PER-19 menekankan aspek administratif penonaktifan sebagai upaya mendorong kepatuhan, bukan semata-mata pidana—meskipun bukti pelanggaran serius tetap dapat diproses sesuai peraturan lain.
Follow sosmed kami untuk pajak update, edukatif, cepat dan friendly.

